Selamat Datang di ekaswantika.blogspot.com

Rabu, 28 Desember 2011

Seberapa efektifkah pelaksanaan pemilukada?


PENDAHULUAN

Political passion atau gairah politik, jika bisa disebut demikian, di tingkat propinsi dan juga kabupaten/kota di Indonesia belakangan ini semakin marak seiring dengan digelarnya pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada sekitar 14 (empat belas) propinsi dan 136 kabupaten/kota yang telah dan akan menyelenggarakan pilkada pada tahun 2008. Daerah propinsi tersebut meliputi: Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta  (masih menjadi perdebatan), Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,dan Maluku. Terdapat beberapa keunggulan, mengapa pemilihan langsung menjadi pilihan:
1.  Memberikan kepastian terhadap alih kepemimpinan dan kekuasaan (transfer of leader and power) secara konstitusional untuk melahirkan kepemimpinan yang legitimatif.
2.  Keterlibatan rakyat dalam pemilu adalah wujud partisipasi politik rakyat.
3.  Sebagai wahana formal membentuk tatanan Negara dan masyarakat menuju ke tatanan yang lebih baik.
4.  Dapat menjadi filter kepercayaan rakyat terhadap partai politik yang menjadi pilihan masyarakat.
           Meskipun demikian, pemilihan langsung bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratik atau tidak. Ada beberapa prasarat lain seperti rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, dan apakah masyarakat sudah menikmati hak-hak dasar mereka. Pilkada yang dijadikan sebagai salah satu alat ukur demokratisasi di daerah sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 (hasil revisi UU No. 22 Tahun 1999 pada September 2004 lalu) belum tentu bisa memenuhi harapan tersebut. Hadirnya undang-undang tersebut memang membuat puluhan propinsi serta ratusan kabupaten/kota untuk mau tidak mau menggelar hajatan Pilkada di daerahnya secara langsung.
            Namun seberapa banyak energi yang harus dikeluarkan negara (termasuk uang dan sumberdaya manusia) untuk menyelenggarakan ”pesta demokrasi” daerah tersebut ? Apakah energi yang keluar sesuai dengan derajat keberhasilan ? Lebih-lebih lagi, apakah proses dan hasil pilkada telah mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan demokrasi di daerah ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan fokus tulisan ini, yang akan mengalir dari pemahaman tentang politik secara umum sampai ke hal khusus tentang pilkada.


PEMBAHASAN
Esensi pergantian kepemimpinan pada dasarnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau proses pemilihan kepala daerah baru memiliki makna jika kepala daerah yang terpilih bisa melakukan perubahan-perubahan atau kemajuan-kemajuan yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, setiap calon kepala daerah selalu menjual isu perubahan sebagai salah satu isu kampanye yang cukup efektif menarik dukungan masyarakat luas.
Isu perubahan sebagai tema kampanye memiliki argumen yang mendasar karena pelaksanaan pilkada yang memerlukan dana yang besar akan menjadi mubazir jika pemimpin yang terpilih nantinya tidak mampu melakukan perubahan-perubahan yang nyata untuk kemaslahatan masyarakat.
Namun, ketika isu perubahan digulirkan oleh para calon kepala daerah sering hanya sekadar alat kampanye untuk menarik dukungan masa, bahkan cenderung mengarah pada kebohogan publik. Fenomena itu tercermin dari isu perubahan tidak didukung program kerja yang konkret dan oprasional, serta tidak dukung kontrak politik yang mengikat dengan para pemilihnya. Akibatnya, isu kampanye perubahan yang dikedepankan hanya sebatas melakukan propaganda politik dengan cara-cara mengangkat isu-isu politik yang tidak berdasar atau hanya memojokan calon incumbent.
Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang objektif dan rasional untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang antiperubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban.
Secara subtantif, makna perubahan dalam pilkada, yaitu adanya sejumlah gagasan melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam segala bidang terutama yang dirasakan masyarakat luas. Isu perubahan yang selama ini dirasakan masyarakat luas, yaitu perbaikan di bidang ekonomi, pemerataan pembangunan, perbaikan di bidang pelayan publik, dan perubahan yang mendasar, yaitu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Jika menilik ke belakang, sejumlah isu perubahan tersebut sesungguhnya bukan persoalan baru karena dalam perkembangan 10 tahun terakhir ini sejak pascapemerintahan Orde Baru, upaya melakukan perubahan kepada empat persoalan tersebut, yaitu perbaikan ekonomi, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemerataan pembangunan dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sudah banyak perubahan dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, tapi hasilnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, ada kecenderungan dengan adanya perubahan kepemimpinan melalui pilkada yang demokratis, ternyata tidak secara signifikan bisa melakukan perubahan.
Oleh sebab itu, pertanyaan yang hendak kita diskusikan, yaitu mengapa perubahan itu tidak terjadi?  Dari mana kita memulai agenda perubahan tersebut? Beberapa alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi?
Pertama, tidak terjadinya perubahan pascapergantian kepala daerah, bukan bararti calon kepala daerah tidak memiliki visi dan misi perubahan, melainkan visi dan misi tersebut gagal dilaksanakan. Problem mendasar kegagalan tersebut karena kultur birokrasi pemda cenderung bekerja dalam suasana tidak kompetitif, kurang memiliki kinerja yang optimal, pengalokasiaan anggaran yang tidak efisien, tidak bersahaja, dan cenderung korup.
Kedua, kekuasaan yang dijalankan kepala daerah cenderung tidak efektif karena gagal mengendalikan dan mengontrol perilaku birokrasi. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan, tetapi lebih cenderung dipakai sebagai alat memaksimalkan kepentingan kepala daerah, bukan pada pencapaian kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, berjalannya pemerintahan tidak bisa dikontrol secara efektif. DPRD yang seharusnya mengontrol kekuasaan jalannya pemerintahan tidak bisa efektif karena perilaku anggota Dewan lebih cenderung kompromistik, tanggap terhadap kepentingan pemda, dan berbagi kepentingan. Fungsi Dewan, akhirnya hanya sebagai alat legitimasi kepentingan kepala daerah dan pejabat birokrasi pemda, bukan mengarahkan, mengontrol, dan memberi alternatif kebijakan.
Keempat, tidak muncul kepemimpinan yang kontekstual dalam pengertian kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah kabupaten/kota masyarakatnya miskin ternyata pemimpinya tidak secara serius memperjuangkan agar rakyatnya bebas dari persoalan kemiskinan. Demikian halnya jika terjadi pemerintahan itu korup penuh dengan pungli, ternyata pemimpinnya sama sekali tidak memiliki komitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari pungli.
Kelima, keberadaan pemerintah daerah di mana pun juga dimaksudkan menghasilkan output. Output penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah berupa percepatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi menjadi suatu keharusan yang mesti dilakukan agar keberadaan pemerintah menjadi bermakna di mata rakyatnya. Inovasi itu bisa dicapai antara lain melalui terobosan mengambil keputusan terutama yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan pemerintah daerah sekarang tidak inovatif karena terjebak gaya pemerintahan yang monoton, lamban, cenderung rutinitas bahkan sebagian besar kepala daerah penuh rasa khawatir untuk melakukan eksperimen penyelenggaraan pemerintahan di alam otonomi. Banyak pejabat daerah berhadapan dengan hukum karena tindakannya dituduh telah melakukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Ini membuat pemerintah daerah takut berinovasi akibatnya tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan kepada rakyat, demikian juga percepatan kesejahteraan sulit tercapai.
Dari beberapa pengalaman pilkada di beberapa kabupaten/kota atau provinsi yang sudah berlangsung selama ini ternyata sebagian besar menunjukkan kecenderungan tidak terjadinya perubahan yang signifikan menuju best practise. Kunci utama melakukan perubahan, yaitu dalam proses pilkada, partai politik dalam melakukan rekrutmen calon kepala daerah harus menjaring calon-calon yang memiliki kapasitas menata manajemen pemerintahan agar memiliki watak untuk melakukan perubahan-perubahan yang inovatif.
Problem mendasar yang dihadapi sekarang ini yaitu partai tidak secara komprehensif untuk menyusun kriteria calon kepala daerah. Umumnya partai politik hanya mengedepankan kriteria popularitas dan faktor dukungan finansial sebagai kriteria utama calon kepala daerah karena terbentur dengan realitas pemilih yang sebagian besar masih dalam kategori pemilih nonrasional dan realitas pilkada yang memerlukan biaya yang sangat besar.
Dalam perspektif demikian, maka agak sulit mencari sosok calon kepala daerah yang memiliki kapasitas melakukan perubahan manajemen pemerintahan. Oleh sebab itu, jangan terlalu berharap kalau pilkada akan menghasilkan kepala daerah yang bisa melakukan perubahan-perubahan sepanjang proses pilkada mulai dari penjaringan calon sampai dengan pemilihan hanya semata-mata berbasis pada visi kepentingan pragmatis partai dan mengikuti logika masyarakat awam yang melihat sosok pemimpin bukan pada persoalan yang substantif.
Pada proses pemilihan kepala daerah (pilkada) Gubernur/Bupati, esensi pergantian kepemimpinan pada dasarnya untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau proses pemilihan kepala daerah baru memiliki makna jika kepala daerah yang akan terpilih bisa melakukan perubahan-perubahan atau kemajuan-kemajuan yang bisa dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat luas. 
Namun isu perubahan yang kerap didengung-dengungkan sebagai alat kampanye seringkali hanya menjadi semacam “lipstick” untuk meraih kemenangan dalam pemilihan. Para kontestan pilkada tentu sangat mahir dalam meracik hal ini dan menarik dukungan masyarakat.
Isu perubahan sebagai tema kampanye memiliki argumen yang mendasar karena pelaksanaan pilkada yang memerlukan dana yang besar akan menjadi mubazir jika pemimpin yang terpilih nantinya tidak mampu melakukan perubahan-perubahan yang nyata untuk kemaslahatan masyarakat.
Namun, ketika isu perubahan digulirkan oleh para calon kepala daerah sering hanya sekadar alat kampanye untuk menarik dukungan masa, bahkan cenderung mengarah pada kebohogan publik. Fenomena itu tercermin dari isu perubahan tidak didukung program kerja yang konkret dan oprasional, serta tidak dukung kontrak politik yang mengikat dengan para pemilihnya. 
Akibatnya, isu kampanye perubahan yang dikedepankan hanya sebatas melakukan propaganda politik dengan cara-cara mengangkat isu-isu politik yang tidak berdasar atau hanya memojokan calon incumbent / calon lain.
Dalam konteks pendidikan politik yang sehat dan dinamik, seharusnya melalui pilkada rakyat diberikan proses pembelajaran politik yang bisa memberikan pencerahan politik. Rakyat harus diberikan informasi yang OBJEKTIF dan RASIONAL untuk menilai mana calon yang memiliki visi perubahan dan calon mana yang anti perubahan, sehingga proses persaingan politik akan berjalan dalam suasana politik yang sehat dan terbangun kultur politik yang berkeadaban.

Konsep Perubahan 
Secara subtantif, makna perubahan dalam pilkada adalah adanya sejumlah gagasan melakukan perbaikan-perbaikan yang mendasar dalam segala bidang terutama yang dirasakan masyarakat luas secara langsung.
Isu perubahan yang selama ini dirasakan langsung oleh masyarakat luas adalah perbaikan di bidang ekonomi, pemerataan pembangunan, perbaikan di bidang pelayan publik, dan perbaikan perubahan yang mendasar, yaitu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Sebenarnya perubahan dasar tersebut bukanlah konsep yang baru, bahkan masalah lama yang tak terselesaikan dengan baik. Sudah banyak perubahan dilakukan melalui berbagai kebijakan pemerintah, tapi hasilnya tidak banyak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, ada kecenderungan dengan adanya perubahan kepemimpinan melalui pilkada yang demokratis, ternyata tidak secara signifikan bisa melakukan perubahan.
Pertama, tidak terjadinya perubahan pascapergantian kepala daerah, bukan berarti calon kepala daerah tidak memiliki visi dan misi perubahan, melainkan visi dan misi tersebut gagal dilaksanakan. Problem mendasar kegagalan tersebut karena kultur birokrasi pemda cenderung bekerja dalam suasana tidak kompetitif, kurang memiliki kinerja yang optimal, pengalokasian anggaran yang tidak efisien, tidak bersahaja, dan cenderung korup.
Point pertama inilah yang dapat dirasakan secara langsung saat terjadi masa pemerintahan pemimpin daerah berkuasa (menjabat). Analisa atas kebijakan dan pelaksanaan prioritas pembangunan dapat terlihat bila masyarakat aktif dan responsif atas jalannya proses pembangunan.
Kedua, kekuasaan yang dijalankan kepala daerah cenderung tidak efektif karena gagal mengendalikan dan mengontrol perilaku birokrasi. Kekuasaan tidak dipakai untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan, tetapi lebih cenderung dipakai sebagai alat memaksimalkan kepentingan kepala daerah, bukan pada pencapaian kepentingan masyarakat luas.
Point ini yang sering disorot oleh masyarakat, akan terlihat secara nyata kepala daerah yang efektif dalam menjalankan pemerintahan pastinya akan membuat proses birokrasi dapat dinikmati oleh masyarakat. Fokus atas pelaksanaan kekuasaan dalam birokrasi masih sangat kental akan suasana politis. Seringkali benturan kepentingan masyarakat, kekuasaan dan golongan membuat kebijakan yang memihak rakyat tidak maksimal.
Ketiga, berjalannya pemerintahan tidak bisa dikontrol secara efektif. DPRD yang seharusnya mengontrol kekuasaan jalannya pemerintahan tidak bisa efektif karena perilaku anggota Dewan lebih cenderung kompromistik, tanggap terhadap kepentingan pemda, dan berbagi kepentingan. Fungsi Dewan, akhirnya hanya sebagai alat legitimasi kepentingan kepala daerah dan pejabat birokrasi pemda, bukan mengarahkan, mengontrol, dan memberi alternatif kebijakan.
Pada point ini, ternyata peran control atas jalannya pemerintahan oleh anggota dewan tidak lagi dipercaya penuh oleh masyarakat saat ini. Mengapa ? hampir sebagian besar anggota dewan malah (ternyata) berpikir tentang keuntungan atas proyek-proyek yang dilaksanakan pemerintah. Fungsi pembawa suara rakyat kerap sekedar menjembatani semata, namun kurang aksi nyata.
Keempat, tidak muncul kepemimpinan yang kontekstual dalam pengertian kalau sebagian besar penduduk di suatu daerah kabupaten/kota masyarakatnya miskin ternyata pemimpinya tidak secara serius memperjuangkan agar rakyatnya bebas dari persoalan kemiskinan. Demikian halnya jika terjadi pemerintahan itu korup penuh dengan pungli, ternyata pemimpinnya sama sekali tidak memiliki komitmen mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari pungli.
Kelima, keberadaan pemerintah daerah di mana pun juga dimaksudkan menghasilkan output. Output penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah berupa percepatan kesejahteraan masyarakat. Inovasi menjadi suatu keharusan yang mesti dilakukan agar keberadaan pemerintah menjadi bermakna di mata rakyatnya. Inovasi itu bisa dicapai antara lain melalui terobosan mengambil keputusan terutama yang terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ada kecenderungan pemerintah daerah sekarang tidak inovatif karena terjebak gaya pemerintahan yang monoton, lamban, cenderung rutinitas bahkan sebagian besar kepala daerah penuh rasa khawatir untuk melakukan eksperimen penyelenggaraan pemerintahan di alam otonomi. Banyak pejabat daerah berhadapan dengan hukum karena tindakannya dituduh telah melakukan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang dinilai melanggar undang-undang. Ini membuat pemerintah daerah takut berinovasi akibatnya tidak terjadi peningkatan kualitas pelayanan kepada rakyat, demikian juga percepatan kesejahteraan sulit tercapai.


PENUTUP

Titik kritis bagi organisasi dalam tingkatan apapun adalah pada titik rekruitmen. Rekruitmen politik sangat penting bagai keberlangsungan sistem politik. Hasil rekruitmen akan sangat mewarnai sistem yang ada. Sehingga jika hasil rekruitmen ”keliru memilih”, maka dipastikan sistem juga akan ”keliru arah”. Dengan demikian setiap pilihan memang selalu membawa resiko tertentu. Semoga masyarakat Indonesia menyadari betapa besar resiko yang harus ditanggung dari sebuah pilihan. Diharapkan pada pemilihan kepala daerah di waktu-waktu mendatang bisa menumbuhkan kesadaran politik masyarakat, dan pada akhirnya menumbuhkembangkan kepercayaan pada sistem politik yang ada, sehingga pilihan akan didasari dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Mungkin masih terlalu dini untuk menjatuhkan penilaian akhir apakah pilkada gagal atau berhasil dalam pengembangan demokrasi di daerah. Akan tetapi penilaian tetaplah layak dilakukan, mengingat demokrasi bukanlah tujuan akhir yang bisa dinilai kemutlakannya, tetapi lebih merupakan proses perjalanan cara pikir dan cara bertindak suatu bangsa dalam menanggapi perubahan-perubahan (politik) yang ada. Demokrasi tidak pernah ”jadi” tetapi selalu mengalami ”proses menjadi’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar