BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Setelah Indonesia
merdeka, pemerintah Indonesia berupaya untuk memperbaharui tata hukum agraria
yang berangkat dari cita-cita hasil pembentukan Negara baru, yakni menciptakan
kesejahteraan rakyat, dengan menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Bagian yang cukup penting
dari UUPA antara lain ialah yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
landreform, seperti ketentuan mengenai luas maksimum-minimum hak atas tanah dan
pembagian tanah kepada petani tak bertanah.. Dan menyatakan bahwa semenjak
tanggal 24 September 1960, rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk
memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan
mengolah tanahnya demi kemakmuran.
Latar belakang dari
agenda atau tujuan pokok dari UUPA adalah karena realitas pengaturan hukum
agraria yang diwariskan pemerintah jajahan sangat bertentangan dengan
kepentingan rakyat dan bangsa, melahirkan sifat dualisme hukum agraria dan
tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi rakyat asli Indonesia. Semua itu
harus dihapus dan digantikan dengan semangat yang didasarkan pada kepentingan
rakyat dan bangsa berdasar UUD 1945. Dari penjelasan UUPA itu menunjukkan bahwa
UUPA adalah anti kapitalisme dan sebaliknya memiliki semangat kerakyatan
(populis). Cita-cita UUPA adalah melaksanakan perubahan secara mendasar
terhadap relasi agraria yang ada agar menjadi lebih adil dan memenuhi
kepentingan rakyat petani.
Diundangkannya UU
No.5/1960 (UUPA) mengakhiri dualisme hukum agraria yang ada sebelumnya berlaku
di Indonesia, yakni Hukum Barat yang didasarkan pada Kitab undang-Undang Hukum
Perdata dan Hukum Tanah Adat yang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
penduduk sipil (adat) Indonesia. Tujuan pokok dari diundangkannya UUPA adalah:
(i) meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk
membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat,
terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur,
(ii) meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan,
(iii) meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
B.TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan
makalah ini secara umum untuk mengetahui secara rinci mengenai UU No.5/1960 (UUPA)
khususnya dalam pasal 7,10,dan 17 yang diundangkan tentang tanah pertanian (Land
reform) dan juga mengenai pelaksanaan program landreform.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN LANDREFORM
Landreform terdiri
atas dua suku kata yaitu land dan reform.Land
berarti tanah,sedangkan reform berarti perbaikan atau pembaharuan. Pengertian
umumnya adalah pembaruan, tetapi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reform bukan
sekedar pembaruan tetapi perubahan radikal untuk perbaikan di suatu masyarakat
atau negara. Radikal sendiri berarti sampai pada hal yang prinsip atau mendasar
untuk perbaikan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia itu sendiri diterangkan
juga bahwa reformis adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tanpa
kekerasan. Dengan demikian maka reformasi pertanahan dimaksudkan sebagai upaya
melakukan perubahan di bidang pertanahan dengan peraturan untuk menuju keadaan
yang lebih baik tanpa kekerasan, atau dalam UUPA dapat kita sebut sebagai tanah
pertanian.
b. DASAR HUKUM LANDREFORM INDONESIA
Dasar utama dari landreform ialah UUPA masing-masing dalam :
1. Pasal 7 yang
mengatakan : Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan
penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan ;
2. Pasal 10 (1) Setiap
orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan
mencegah cara-cara pemerasan; (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam
ayat (1) Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan ;
3. Pasal 17 (1)
Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
dalam Pasal 2 (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga
atau badan hukum ; (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal
ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat ; (3)
tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat
(2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
peraturan pemerintah. (4) tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat (1)
ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-an,dilaksanakan secara
berangsur-angsur.
Sebagai
pelaksanaan dari ketentuan pokok yang telah disebutkan tadi telah ditetapkan
Undang-undang nomor 38 Prp.tahun 1960 tentang penggunaan dan penetapan luas
tanah untuk tanaman-tanaman tertentu, kemudian disempurnakan dengan
Undang-undang nomor 20 tahun 1964 (L.N. 1964 no.188).Undang-undang no.38 Prp.
tahun 1960 disusul undang-undang lainnya yaitu undang- undang 56
Prp.tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.Pada mulanya keduanya
dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pemgganti Undang-undang,kemudian
berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1961 (L.N. 1961 no.3) disahkan menjadi
Undang-undang.
Sebagai
aturan pelaksanaan dari perundang-undangan tersebut di atas berangsur-angsur
kemudian keluar aturan pelaksanaannya yaitu :
1. Peraturan Pemerintah
nomor 224/1960 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti rugi
(L.N.1961no.280,T.L.N.232) ;
2. Keputusan Menteri
Agraria tanggal 31 Desember 1960 nomor SK. 978/KA/1960 tentang penegasan luas
maksimum tanah pertanian;
3. Keputusan Presiden
tanggal 5 April 1961 no.131/1961 yang ke-mudian diubah dan diperbaiki dengan Keputusan
Presiden tanggal 6 September 1961 no.509/1961 dan Keputusan Presiden
tang-gal 17 Oktober 1964 no.263 tentang Organisasi pengelenggara-an
Landreform ;
4. Instruksi Menteri
Dalam Negeri tanggal 18 September 1973 tentang larangan penguasaan tanah yang
melampauibatas.
C. TUJUAN LANDREFORM
a) untuk mengadakan
pembagian yang adil atas sumber kehidupan rakyat tani yang berupa
tanah,dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula,dengan merombak
struktur pertanahan sama sekali secara revolu-sioner,guna merealiser
keadilan sosial ;
b)
untuk melaksanakan
prinsip :tanah untuk tani,agar tidak terjadi lagi tanah sebagai obyek
spekulasi dan obyek pemerasan ;
c)
untuk memperkuat dan
memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga-negara Indonesia,baik
laki-laki maupun wanita,yang berfungsi sosial.Suatu pengakuan dan
perlindungan terhadap privaat bezit,yaitu hak milik sebagai hak yang
terkuat,bersifat perseorangan dan turun temurun,tetapi berfungsi sosial ;
d)
untuk mengakhiri sistem tuan-tanah dan menghapuskan pemilikan
dan penguasaan tanah secara besar-besarandengan tak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap
keluarga. Sebagai kepala keluarga dapat seorang laki-laki maupun wanita.
Dengan demikian mengikis pula sistem liberalisme dan kapitalisme atas
tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah ;
e)
untuk mempertinggi
produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif
secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong
lainnya,untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil,dibarengi dengan
sistem perkreditan yang khusus dituju-kan kepada golongan tani.
D. PELAKSANAAN PROGRAM
LANDREFORM
UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka
beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal
7, 10 dan 17. Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur
secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan
umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal
lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang
mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri
secara aktif. (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak
menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar,
menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada
di bawah perintah/kuasanya. Selanjutnya dalam pasal 17 UUPA menunjuk kepada apa
yang ditentukan dalam pasal 7 dan 10, maka pasal 17 mengemukakan tentang
batas-batas maksimum luasnya tanah. Dengan adanya ketentuan ini dapat
dihindarkan tertumpuknya tanah pada golongan-golongan tertentu saja. Dasar
hukum yang tercantum di sini sejalan pula dengan tujuan landreform. pasal 17
UUPA ini juga mencerminkan ciri-ciri khas serta kebijaksanaan dalam pelaksanaan
landreform di Indoensia yaitu pemberian/pembayaran ganti rugi oleh pemerintah
kepada bekas pemilik tanah kelebihan dan tanah absentee. Dalam kerangka
pencapaian tujuan keadilan sosial yang menjadi semangat dan roh UUPA pemerintah
mengeluarkan berbagai peraturan hukum dibidang pertanahan, antara lain UU No.56
Prp 1960 sebagai pelaksanaan pasal 17 UUPA, UU No.2/1960 tentang Bagi Hasil,
Peraturan Pemerintah (PP) No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, PP No.224/1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian yang kesemuanya
disiapkan untuk pelaksanaan program landreform.
Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak menjamin bahwa program
landreform dapat dilaksanakan secara maksimal, pergantian rejim pemerintahan
tidak memperlancar program ini bahkan macet dalam pelaksanaannya, sebab prinsip
yang digunakan oleh pemerintah yaitu tanah untuk sebesar-besarnya pertumbuhan
ekonomi nasional.
Aparatur militer juga diposisikan untuk mendukung proses ini
dengan dasar asumsi bahwa pembangunan memerlukan stabilitas politik. Di sini
konsep tanah berfungsi sosial (pasal 6 UUPA) semakin jauh, fungsi sosial itu
dimaknakan dan dijadikan dasar legitimasi pembebasan tanah untuk kepentingan
pembangunan industri. Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan masih
terjadinya penumpukan tanah oleh pihak tertentu, padahal pasal 7 UUPA mengatur
tentang larangan menguasai tanah melampaui batas tertentu, sebab hal ini
merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan
tanah pertanian, khususnya didaerah yang berpenduduk padat. Kelangkaan tanah
menyebabkan tanah memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian dalam
penjelasan umum UU No.56 Prp Tahun 1960 menetapkan bahwa untuk mempertinggi
taraf hidup rakyat pada umumnya tidaklah cukup diadakan penetapan luas maksimum
dan minimum saja, tetapi harus diikuti dengan pembagian tanah-tanah yang
melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan,
maka usaha itu perlu disertai tindakan-tindakan lainnya misalnya pembukuan
tanah, tanah pertanian baru, industrialisasi, transmigrasi, usaha untuk
mempertinggi produktivitas, persediaan yang cukup dan dapat diperoleh pada
waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.
BAB III
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Bila mencermati uraian
di atas maka UUPA sebagai induk landreform pada dasarnya berisikan hal-hal yang
pokok saja, pengaturan secara khusus hanya dapat dijumpai dalam UU dan
peraturan pelaksanaannya yang tentu saja dapat berubah atau disempurnakan dan
kesemuanya bergantung pada situasi dan kondisi yang berkembang. Maka dengan
perkembangan masyarakat sekarang ini serta meningkatnya kebutuhan akan tanah,
program landreform harus dituntaskan pelaksanaannya yang tentu harus didukung
oleh kemauan politik pemerintah, maka kebijakan pertanahan perlu untuk
diperbaharui sesuai konsep pembaruan agrarian dan paradigma baru yang mendukung
ekonomi kerakyatan, demokratis, dan partisipatif.
B. DAFTAR PUSTAKA
→ Abdurrahman,H.:Tebaran
Fikiran mengenai Hukum Agraria, Penerbit Alumni Bandung, 1985
→ Aminuddin Salle,
Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Penerbit Yogyakarta, 2008.
→ Aminuddin Salle,
dkk, Hukum Agraria, Penerbit ASPublishing Makassar, 2010
→ Boedi
Harsono,:Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya Hukum Agraria, Penerbit
Djambatan Djakarta, 1971 ;
→
www.google.com/ourland blogspot.com
→
www.google.com/landreform/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar